Peneliti, apapun bidangnya, cenderung sangat spesialis di bidang yang ia tekuni dan ia sukai. “Work with passion and you will be success”, demikian ungkap sahabat saya. Saya tidak menafikan ungkapan tersebut, meskipun saya belum bisa membuktikannya 100%. Saya masih mencoba membuktikan hal ini. Namun seiring perjalanan hidup saya, passion yang saya tekuni terkadang perlu didukung oleh hal-hal yang sebenarnya pernah saya lupakan, atau lebih tepatnya, hal-hal yang sengaja saya lupakan.
Peneliti, sebagaimana orang kebanyakan, terkadang lupa bahwa untuk bisa berkontribusi secara langsung ke masyarakat, ia memerlukan dukungan masyarakat. “Siapa yang tidak bersama masyarakat, maka ia akan menjadi musuh mereka,” demikian adagium tua yang pernah disampaikan oleh seorang guru pengajian. Maka, memahami bagaimana masyarakat berpikir adalah salah satu kemampuan penting yang perlu dimiliki peneliti. Lima hal lain yang kadang terlupa akan dibahas dalam artikel ini. Apa sajakah ?
1. MARKETING
Pemasaran? Saya bukan salesman!
Mungkin begitu pikir Anda ketika saya menempatkan hal ini di urutan pertama. Ya, Anda bukan salesman berdasi, tapi Anda salesman berjubah lab. Jamak kita ketahui, salah satu cara untuk mengomunikasikan hasil penelitian adalah menulis karya ilmiah (paper) dan presentasi. Bukankah sudah berkali-kali Anda menulis abstrak pada paper? Apa yang ingin Anda dapat dari abstrak? Bukankah Anda ingin orang lain membaca paper Anda dan berusaha “merayu” peneliti lain melalui abstrak Anda?
Terkadang kita melupakan bahwa sejak awal kita belajar melakukan penelitian, kita sudah dilatih marketing meskipun kita tidak menyadarinya. Kita dilatih untuk menulis abstrak yang baik, kita dilatih untuk membuat prototype yang bisa kita pamerkan seketika saat ada tamu mengunjungi, kita dilatih untuk membuat poster yang komunikatif saat mengikuti seminar internasional, dan masih banyak lagi. Marketing, menurut saya, 20% menceritakan fakta dan 80% lainnya memberi impian. Anda tidak akan pernah membeli mobil jika tidak memiliki impian bisa membawa seluruh anggota keluarga Anda jalan-jalan di taman,misalnya. Anda tidak akan pernah membeli laptop yang fancy, jika Anda tidak memiliki impian laptop Anda menjadi “simbol” identitas dan gaya hidup Anda.
Marketing adalah seni menceritakan impian. Ilmu pengetahuan dan penemuan apapun tidak akan pernah diadopsi oleh masyarakat luas jika mereka tidak memiliki impian menjalani kehidupan lebih baik dengan penemuan Anda. Anda tidak akan pernah mendapatkan funding untuk penelitian Anda jika Anda tidak bisa menceritakan sisi-sisi kontribusi Anda terhadap kemanusiaan. Menjual mimpi itu ada ilmunya. Tentunya, kita tidak hanya memberi mimpi palsu, tapi berusaha juga benar-benar mewujudkannya. Ada buku yang saya rekomendasikan kepada para peneliti untuk dibaca, “Marketing for Scientists: How to Shine in Tough Times” karya Marc J. Kuchner, seorang PhD holder di bidang astronomi sekaligus musisi country. Buku ini mengupas bagaimana seorang peneliti bisa mulai mempelajari trik-trik marketing sederhana untuk mendukung penelitiannya, mendapatkan funding, sekaligus memperoleh exposure yang luas di masyarakat.
2. NEGOSIASI
Negosiasi adalah seni untuk mengubah “tidak” menjadi “OK, saya akan pertimbangkan”. Negosiasi adalah seni untuk mengakomodasi keinginan lawan bicara dan menitipkan keinginan kita dalam keinginan lawan bicara tersebut. Susah? Sangat! Saya baru menyadari pentingnya kemampuan negosiasi bisnis teknologi setelah saya lulus S-3. Saya tidak pernah belajar secara resmi kemampuan ini dan saya cukup menyesal karena menyadari kemampuan ini ternyata cukup penting dalam mendukung penelitian yang sedang kita kerjakan.
Pengalaman yang saya alami cukup menarik, saya harus bisa bernegosiasi untuk software pricing. Bagaimana kita ingin menghargai sebuah scientific software yang kita kembangkan? Apa hal-hal yang bisa kita sodorkan supaya lawan bicara mau mengakuisisi software kita dengan harga yang memuaskan kedua belah pihak? Apa nilai-nilai yang bisa kita sodorkan agar lawan bicara kita memahami value dari software kita 10 tahun mendatang? Pengalaman lain adalah ketika saya bernegosiasi soal penggunaan funding. Bagaimana kita bisa lebih leluasa menggunakan funding tanpa melanggar ketentuan lembaga pemberi funding?
Kerumitan ada pada pilihan bahasa, opsi-opsi yang kita sampaikan, rasionale di balik opsi tersebut, detail dari apa yang kita bicarakan, dan masih banyak lagi. Negosiasi adalah skill yang cukup sulit dipelajari dari buku. Anda perlu mencobanya sendiri dan melihat efeknya secara langsung.
3. ANALISIS PREDIKSI
Seorang peneliti harus mampu melihat tren yang berkembang di masyarakat. Permasalahan penelitian tidak lepas dari tren. Tanpa menganalisis tren, penelitian Anda hanya akan menjadi (maaf) sampah. Terbit. Dipresentasikan. Dicetak. Diloakkan atau dibuang di tempat sampah. Syukur-syukur kalau karya ilmiah yang Anda terbitkan bisa mendukung Anda naik pangkat atau mendukung karir Anda. Tapi kalau makalah yang Anda tulis hanya berakhir dengan coretan eliminasi di meja penentu usulan naik pangkat, siapa yang salah?
Menganalisis hasil prediksi tentu ada ilmunya. Saya dulu berpikir, saham adalah 100% judi, without any effort at all. Itu anggapan sebelum saya membaca. Setelah membaca dan bertanya, ternyata memang ada unsur judi, tapi permainan saham pun ada “sains”-nya. Ilmu ini bisa dipelajari. Orang yang sense statistiknya rendah, tidak akan mungkin bertahan di pasar saham. Ibarat saham, memilih tema penelitian pun ada ilmunya. Ilmu untuk meneliti bukan skill yang Anda dapat sejak lahir. Ia bukan “tahi lalat”. Ilmu ini dinamis dan berkembang, bahkan sangat erat kaitannya dengan masa di mana anda tinggal dan melakukan penelitian.
Anda tidak bisa serta-merta mengerjakan apa yang 100% Anda sukai tanpa melihat tren yang berkembang. Misalnya, Anda ingin mengembangkan layout keyboard baru saat hampir 90% orang Indonesia sudah terbiasa sejak lahir menggunakan layout QWERTY. Apakah penelitian Anda akan jadi paper? Ya. Apakah penelitian Anda akan benar-benar menghasilkan produk layak pakai? Belum tentu.
Melihat dan menganalisis tren adalah skill yang bisa dipelajari. Tren sosial, tren ekonomi, tren politik, tren teknologi, semua memiliki kaitan. Saat Anda bisa menemukan kaitan antara bidang-bidang tersebut, Anda akan menemukan kontribusi baru, penemuan baru, breakthrough invention. Leading invention saat ini sangat bergantung pada kemampuan melihat tren antar bidang. Ini berarti, seorang peneliti perlu lebih banyak bersosialisasi dengan peneliti lain di luar bidang ilmunya. Memahami, apa tren yang sedang berkembang di bidang ilmu lain. Melihat peluang, kemudian mencoba menyodorkan solusi dengan kemampuan yang dimiliki. Saat ini, peneliti Indonesia unggul saat ia menjadi pemain tunggal, tapi tak pernah bisa bersaing secara global saat ia bermain dalam sebuah grup dengan peneliti lain di luar bidang ilmunya. Ini kelemahan kita dan kita harus belajar mengatasinya.
4. MANAJEMEN
Manajemen adalah seni mengelola perbedaan. Manajemen sangat dekat dengan empati. Manajemen tanpa empati ibarat menganggap manusia sebagai robot tanpa hati. Empati tanpa manajemen adalah sebuah kecerobohan. Manajemen adalah ilmu yang harus dipelajari dari pengalaman. Mengelola sumber daya penelitian, baik manusia, alat maupun waktu, butuh ilmu. Mengelola manusia agar bekerja seperti pemain orkestra klasik, saling mengisi tanpa mengalahkan yang lain, bukan hal yang mudah. Mengelola alat agar memiliki daya guna optimal sekaligus tahan lama juga bukan hal yang mudah. Mengelola waktu agar sesuai dengan capaian-capaian yang kita rencanakan membutuhkan ketegasan. Manusia, alat, dan waktu. Tiga hal itu berkumpul saat kita memimpin sebuah grup penelitian. Pelajaran penting yang saya dapatkan dari Jepang: kalau kita tidak tegas terhadap waktu yang kita gunakan untuk diri sendiri, kita tidak akan pernah bisa mengatur waktu yang kita gunakan bersama orang lain. Inilah rahasia mengapa transportasi umum sangat susah berkembang di Indonesia. Orang Indonesia tidak pernah menghargai waktu pribadi mereka. Tanpa menghargai waktu pribadi, jangan harap mereka mau berbagi ketepatan waktu untuk menunggu kereta atau bus.
5. SOCIAL MEDIA ENGAGEMENT
“Peneliti yang baik adalah peneliti yang bermain Facebook sesedikit mungkin,” kata seorang teman. Saya tertawa. Ya, saya tidak selalu bermain Facebook, tapi saya bermain dan asyik dengan Quora, Researchgate, Academia, LinkedIn, Stackoverflow, Github, Codeproject, dan Youtube.
Anda mungkin jarang mendengar nama situs-situs tersebut. Coba cek situs-situs tersebut. Konten situs tersebut sangat serius untuk Anda, tapi bagi saya tak ubahnya seperti Facebook atau Twitter. Saya sering memberi saran untuk programmer junior di Stackoverflow. Saya sering berdiskusi tentang algoritme di CodeProject. Saya sering berdiskusi tentang metode-metode pengolahan citra dan experimental research di Researchgate. Social media engagement yang terarah membuat kita dikenal. Khairunnas ‘anfauhum linnas, kata baginda Nabi SAW. “Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain”. Prinsip dasar ini diadopsi oleh social media di atas, sehingga member dengan badge tertinggi adalah mereka yang banyak berkontribusi untuk membantu orang lain. The most precious one is the one who contributes most to society.
Percayakah Anda, dari beberapa software yang pernah saya kembangkan dan commercialized, salah satu di antaranya dibeli lisensinya oleh perusahaan Amerika hanya karena mereka menonton video demonya di Youtube? Saya pun tak pernah menyangka sebelumnya, tapi inilah kenyataannya. Dunia saat ini sungguh datar, di mana kita bisa saja membuat perusahaan tanpa harus terlebih dulu ribet mengurus ijin usahanya. Dunia sungguh datar, di mana kita bisa memiliki penghasilan hanya dengan terkoneksi internet. Saya sungguh merasakan manfaat belajar dari sebuah blog tentang video sains yang menarik. Saya merekomendasikan untuk Anda blog The Scientist Videographer. Kembali ke poin pertama (marketing), blog ini mengajarkan kepada kita bagaimana mengomunikasikan hasil penelitian melalui video. Video demo adalah salah satu media paling powerful yang bisa Anda gunakan untuk mempromosikan riset Anda.
Lima hal di atas adalah hal-hal yang sering (atau terkadang sengaja) kita lupakan. Tapi bagi saya, passion pada apa yang saya kerjakan tidak akan pernah memberikan kemanfaatan untuk diri saya sendiri secara nyata jika saya masih memelihara diskriminasi pada hal-hal penting yang sebenarnya mendukung passion saya. Ini bukan soal apakah kita ingin menjadi generalis atau spesialis. Ini adalah soal menjadi well–informed specialist. Jadilah spesialis, tapi jangan bodoh-bodoh amat soal bisnis, kehidupan sosial, dan berkomunikasi dengan masyarakat.
shared dari sosial media
>